Jumat, 28 November 2014

Malaikat tak bersayap (PART 2)


-Bias-

Kita hanya sebuah miniature kecil dari alam semesta,
Dan saat kita menatap jagat raya…
semua bias…

Saya Rangga, mahasiswa psikologi semester empat di sebuah Universitas negeri di kota Bandung. Belajar psikologi menurutku tidak semudah belajar arsitek, karena jiwa bukanlah sebuah bentuk yang tampak seperti halnya sebuah sudut dan bangun.

Walaupun seperti itu, aku masih belum dapat menguasai seni arsitek dari sahabatku Donna dan Dea, mereka adalah mahasiswi arsitek semester tujuh di universitas negeri di kota yang sama denganku.

Sudah enam bulan perkenalanku dengan mereka, mulanya aku kenal dengan Dea pada satu kegiatan komunitas yang diadakan antar universitas kami, dari sana, aku mulai akrab dengannya dan dia mengenalkan Donna, sahabatnya. Sebuah alasan kami bertemu adalah untuk nanti berpisah. Di satu titik takdir.

Dalam garis perjalanan kami, mimpi menghiasi setiap pertemuan kami, Donna lah yang sebenarnya memiliki mimpi itu. Sementara aku, masih pada perjalanan mencari makna dari mimpi itu. Tapi, darinya aku belajar tentang ambisi, sebuah lokomotif kehidupan, bara batu bara yang dibakar untuk menjalankan gerbong-gerbong kereta hidup kita.

Mimpi kami begitu besar, mencoba menjelajahi dunia dan meninggalkan jejak di atas tanahnya dengan ide-ide kami, membangun sebuah bangunan yang kami anggap akan menjadi sebuah keabadian, hingga setiap masa akan menyaksikannya dan mencari nama kami, walau raga sudah di liang lahat sekalipun.

Setelah rutinitas di kampus selesai aku langsung menuju studio tempat kami menuangkan ide-ide, tahap yang aku sedang pelajari sekarang adalah BELAJAR. Untunglah kata itu bukan kata yang asing dalam kamus hidupku. Menikmati setiap waktu yang berlalu dengan hal-hal yang baru, karena menurutku jiwa membutuhkan itu. hal-hal yang baru, jika kita hanya berputar pada tempat yang sama dengan masalah-masalah yang sama, JENUH itu akan datang masuk ke dalam celah jiwa kita, dan mengikatnya menjadi satu aliran listrik yang sejenak mematikan seluruh aliran darah, atau bahkan selamanya.

“Minggu depan aku off dulu ya, mau focus buat ujian semester genap” kataku pada Donna
“oke… kalau bisa jangan off banget, lumayan lama soalnya, dua minggu. Seminggu dua kali aja loe kesini ya..” katanya. Matanya tak beranjak dari sketsa di layar monitornya.
“waduh, asli, saya ga bisa…”

“focus itu bisa banyak bro! tergantung kamu mau maksimal atau ga! kaya loe nyetir motor aja, bukan Cuma jalan aspal aja yang dilihatnya kan? Ya kan? Nah, itu juga bisa dikatakan fokus”

“ah, Donna kan ga mejalani rutinitas kaya aku, kamu Cuma focus sama tugas akhir kamu dan kamu pun hanya focus membangun mimpi kamu! Coba kamu fikir, kapan kamu mau memahami dunia aku? Terjebak dalam masalah orang lain, masuk ke dalam jiwa orang lain, mencari teori-teori yang sesuai untuk menjawabnya dan melihat banyak mata yang ketakutan, putus asa bahkan menatap miris manusia layaknya binatang, pernah ga kamu menengok pinggiran jalan raya yang terkadang berlalu lalang manusia tak berbusana, manusia yang mengais makanan dari tempat sampah, dan manusia-manusia itu kita lewati begitu saja seperti ANJING! Apa itu mimpi? Kita hanya terjebak dalam mimpi! Menurutku, kita tidak berbeda jauh dengan mereka yang kadang tidak dapat lagi membedakan mana nyata dan ilusi”.

“loe kenapa? Sakit? Yaudah kalau loe ga sanggup, kagak usah nyolot gitu” kata dea pada rangga. Donna hanya diam saja, membeku di hadapan Laptopnya, tangannya terus bergerak, terdengar bunyi klik.klik dari mouse yang di tekan.

Rangga menatap donna, ada perasaan bersalah dalam hatinya. “saya cuma lagi capek aj..” kata rangga.

Ruangan itu tetap sunyi, Dea menatap rangga, “yaudah pulang aja loe, ribet banget sih” kata Dea

“yaudah, gue pulang dulu…” rangga beranjak meninggalkan ruangan itu. dia bereskan semua barangnya ke dalam tas gendong TEUGADUDEUI nya, “maafin saya ya…Donna” 

Lantas dia pergi meninggalkan donna dan dea dalam kondisi tak menentu, rasa lelah itu datang lagi bisik hati rangga.

***
Sudah tiga minggu, rangga menatap kalender yang terpaku di dinding kamarnya.
Wajah donna terus membayangi dia, maaf aku tidak bisa melakukan yang terbaik untuk membangun sesuatu, apapun itu

Entahlah, aku kembali pada titik menghancurkan mimpi orang lain,
Dan wajah Donna yang keras dan kuat itu selalu hadir dalam bentuk yang lain dalam benaknya, sesuatu yang rapuh…

Ayolah rangga! Tidak semua orang seperti apa yang kamu fikirkan, oke! rangga bukanlah malaikat, tapi kamu bisa berupaya memberikan kebahagian untuk setiap orang dan jangan kau ukur kebahagiaan itu dari teraihnya semua mimpi, BINTANG tak selalu indah dalam dekat, BINTANG akan tampak cantik jika tetap berada di atas, biarkan dia disana dan biarkan kita tetap melangkah… sebuah proses adalah mimpi yang menjadi nyata, tak peduli bagaimana hasilnya.

Rangga menatap langit-langit kamarnya, menatap lampu yang menyala. Lalu, selintas dia berfikir sebuah ide. Oke! Besok aku akan kesana membawa benda itu…

***
Pada pagi hari rangga segera berangkat ke sebuah tempat untuk membeli sebuah barang…

Tok.tok… “assalamualaikum dua sister cantik” teriak rangga dari luar rumah Donna.
Kreeekkkkk suara rumah Donna yang terbuat dari kayu terdengar bergesekan dengan lantai, donna yang membukakan pintu. Sekilas wajahnya agak terkejut menatap rangga… rangga hanya tersenyum lebar kepada donna.

“ah, dasar muka modus…” kata Donna dia pun membalas senyum rangga “jangan masuk!” teriaknya bercanda, “yakin?” kata rangga “yakin..” sambil dia membuka pintu dengan lebar “jangan masuk ke luar! Masuk ke dalam aja yuk!” hha.. mereka berdua tertawa

“bawa apaan loe?” Tanya Donna pada rangga “ada deh, kamu jangan protes ya!”
“terserahlah, asal jangan bawa ANJING lagi , oke!” ledek Donna
“hahaha… ga lah!” katanya menaikkan alis dan berlagak serius sambil memegang erat kotak besar seukuran dus indomie goreng di tangannya. “mana Dea?” tanyanya pada donna
“belum datang…” dari pagar halaman tampak dea masuk dengan motor scopy nya, gayanya yang necis dan berkacamata besar membuat rangga tak berkedip, saking besarnya kacamata yang dipakai Dea, hingga menutup hidungnya sendiri.

“woii… jiah ada si cinta datang” teriak dea dari tempat dia memarkirkan motor
“yoa, kenapa neng dea kangen sama rangga? Tapi sayang diantara kita tidak ada cinta..” kata rangga, “amit. Amit deh.. jangan sampe deh kayak gitu” kata dea.
Mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah dan langsung menuju studio mereka.

“tumben datang jam segini, ga ke kampus? oh udah beres ya… bawa apaan loe?” Tanya dea sambil menatap dus yang di bawa rangga.
“ada deh.. kalian berdua mau bantu aku kan?” tanya rangga
“sebelum kita mulai kerja lagi, bantu aku masang ini di semua ruangan studio kita, OK? FIKS!” kata rangga sepihak tanpa menunggu jawaban dari mereka berdua.

“ok, lah… rehat dulu nge-desainnya” kata Donna
Rangga pun menaruh dus di atas meja, lalu mulai membongkar dan mengeluarkan isinya “akhh rangga, kamu bawa appan ini? Parah loe! Mau merusak desain ruangan aku dengan benda kayak gitu? Ini sih mainan anak SD” teriak Donna.

“ayolah donna, pli.plis.plis… gapapa kan?” pinta rangga
Donna menatap rangga “terserah lah…  tapi jangan disitu. Disitu. Disitu” kata donna sambil menunjuk beberapa sudut… “oke donna cantik, ups hitam, eh salah hitam manis… hha” kata rangga bersemangat “aku mau pasang tepat disitu” katanya sambil menunjuk langit-langit.
“boleh lah…” kata donna menyetujui

Mereka bertiga dengan susah payah, naik-naik tangga untuk menempelkan barang yang rangga bawa di atas langit-langit…

Tiga jam pun berlalu, akhirnya mereka selesai memasangkan benda-benda itu…
Setelah tiga minggu tak bertemu, mereka ngobrol kesana kemari bercerita semua aktivitasnya, pembicaraan pun terkadang di bumbui dengan bulian yang membuat mereka tertawa bersama.

Setelah mereka shalat maghrib berjamaah, mereka bertiga pergi keluar mengisi perut mereka, lalu balik lagi ke rumah.

Di ruangan studio sketsa,
“eh, kemari kalian,” ajak rangga “nanti tepat jam 12 aku mau memberi tahu sesuatu” kata rangga
“apaan sih loe…”
“ssttt.. lima menit lagi….” Rangga membiarkan suasana menjadi hening dan seolah terhipnotis semua menatap jam dinding yang tergantung di studio.
“30 detik lagi….” Kata rangga,
“5.4.3.2.1.0….” rangga mulai berhitung
ctreeekk saklar lampu di tekan, seketika ruangan gelap, semua sudut menjadi kelam, tapi mata mereka terpaku pada langit-langit ruangan. Dari sana terpancar cahaya dari benda-benda langit yang tadi mereka pasang. Sebuah gambar galaksi bima sakti yang menyala lengkap dengan bintang-bintang dan seluruh planet-planetnya.

Donna dan Dea terpesona pada langit-langit studio.…”seperti bergerak” bisik dea.      

Akhirnya mereka bertiga pun terduduk di atas lantai dan tetap menatap langit-langit,
“kecil banget ya kita” kata dea
“iyalah, yang kita lihat ini adalah galaksi bima sakti… disana ada ribuan planet-planet yang mengelilingi bintang, ini hanya baru satu galaksi” kata donna
“tahu ga kenapa aku melakukan hal ini?” Tanya rangga
“kenapa?” tanya donna
“lihat disana, titik itu” tunjuk rangga pada sebuah bintang yang bercahaya di kejauhan “aku ingin kita semua menaruh mimpi kita di atas sana, kamu tahu kenapa? Agar kita terus menatap ke atas dengan optimis dan agar kita selalu melangkah ke depan, dan terus bergerak…

Lalu rangga menyorotkan sebuah lampu senter ke wajahnya sendiri, lalu kedua wanita itu menatapnya…
“dan pada saat kalian terpukau dengan bintang yang bercahaya terang di atas sana, aku harap kalian jangan pernah lupa pada sinar lampu senter ini, walaupun cahayanya tidaklah seterang dan secantik bintang-bintang itu, tapi senter ini adalah cahaya pertama yang siap untuk membantu kalian untuk berjalan melangkah menuju bintang-bintang itu…” kata rangga
Donna dan Dea tersenyum “tenang kawan, sebuah lingkaran yang akan kita jejaki bersama nanti, saat mengelilingi dunia ini, akan tetap aku ingat bahwa dia terbuat dari titik-titik langkah yang kita jalani bersama-sama..” kata Donna

“tapi aku ga mau titik-titik itu dibuat dari tinta warna hitam, cukuplah kamu yang hitam donna, jangan lingkarannya..” ledek rangga
“hhaa.. parah lu, cuka banget” kata donna
“dan kamu De, mudah-mudahan setelah lingkaran itu selesai, hal yang ingin aku tambahkan adalah lingkaran hidungmu, biar tambah mancung aja hidung pesekmu..” ledek rangga
“no.no..” kata Dea “biarkan hidung ini tetap pada tempatnya, karena hidung ini menjadi saksi kenangan untuk kita bertiga” kata dea sok puitis.

Hhaa.. mereka pun tertawa dalam ruangan gelap, sambil terus menatap galaksi yang ada di atas mereka…

Dalam luasnya semesta ini,
Kita hanya miniature terkecil…
Dan menjadi bias,

Tapi saat kita bersama-sama membangun cinta, persahabatan, dan sebuah mimpi…
Maka dari ufuk yang jauh disana.
Bintang itu menjadi sangat terang…


Senin, 24 November 2014

Malaikat tak bersayap (PART 1)



-Sebuah Alasan-

“untuk sebagian orang rumah itu seperti penjara yang memenjarakan ide, pikiran dan fisik,
Tapi banyak pula yang nyaman hidup dalam penjara”

Siapa yang memulai pertemuan ini? benar-benar lupa, Rangga berusaha mengingat sekeras mungkin, tapi wajah dia tak bisa untuk dilupakan begitu saja.
Awalnya, rangga hanya diminta bantuan oleh Dea buat merubah cara hidup temannya Donna yang menurut Dea diluar kebiasaan semua orang, Dia yang hanya sibuk dalam sangkarnya dan membuat bangunan-bangunan tiga dimensi berukuran kecil, mungkin biasa disebut miniature. Yah, Donna hanya sibuk membuat miniature-miniatur dalam rumahnya.
Rangga memang lelaki pemberani yang sulit meluluhkan hati wanita, dia tak pernah berhasil dalam membangun hubungan asmara dengan siapa pun, tapi dia adalah jagoan buat sahabat-sahabatnya, terutama di akhir bulan yang cekak dan seret oleh kertas berwarna merah, biru dan hijau.. sahabatnya pasti memanggil rangga tiga kali, dengan posisi tangan dirapatkan dan muka semenderita mungkin, itu cukup untuk menjadi modal meluluhkan hati rangga yang gak tegaan ini.

***
Donna adalah gadis yang sangat kaku, pandangan nya tajam, berbicara seperlunya dan kalau tersenyum cukup menyeringai 1 cm dari total keseluruhan panjang bibir, hhaa. Gaya berpakaiannya pun nyentrik habis, dari atas sampai bawah semua serba hitam, itu pun di selaraskan dengan warna kulit coklatnya, entah kenapa kulitnya berwarna seperti itu, padahal dari kultur dan pola hidupnya itu seharusnya membuat dia setidaknya berwarna kulit putih korea, pikir Rangga.
                Ah, sudahlah. kalau gue memandang orang dari fisiknya duluan nanti yang ada gue malah gak akan kenal benar siapa dia bisik hati rangga saat pertama kali melihat Donna berkunjung ke rumahnya, sebenaryna itu bukan kunjungan tepatnya, tapi penculikan paksa yang dilakukan Dea.
                Dea ini sohibnya dari semenjak SD hingga kuliah.. berarti total pertemanan mereka adalah enam belas tahun, dan menurut pengakuan Dea, mereka berdua menjalani hal-hal yang sama selama hampir seperempat abad itu, mereka berkawanan dulunya ada tujuh orang, tapi yang bertahan sampai di detik itu tinggal tiga orang, yang lain menemukan dunianya masing-masing setelah masa SMA.
                Rangga seorang pemuda dari sebuah desa di daerah Sumedang nan jauh dimata. Perwujudannya sederhana, dan lebih cenderung cuek habis, kemana-mana pake sandal dan kaos tangan panjang, dengan celanan bahan katun, dan tas gandong merk TEUGADUDEUI yang udah diperkirakan dia pake dari kelas satu SMA sampe sekarang semester tiga perguruan tinggi.
                Rangga kalau bicara apa adanya, polos banget. Kadang itu jadi bahan bulian teman-temannya, bahkan juga jadi bahan renungan. Walaupun Rangga ngomongnya polos gitu, tapi pikirannya sedikit filosofis, katanya dia dapet semua kata-kata filosofis itu karena dulu pas di kampung suka ngangon domba sambil baca buku. :D
                Pertemuan pertama dengan Donna dibuka dengan kepolosan Rangga yang bilang neng Donna teh tara kaluar rumah, tapi naha beut hideung? Tapi lumayan lah manis kata Rangga kepada Donna, serentak Dea ngakak habis, ngetawain Donna, dibilang hitam yang jelas memang dia hitam, hha.. Donna Cuma bilang biasa kalau lagi ngecet bangunan kebanyakan warna hitam katanya datar sambil melotot ke arah Dea dan kemudian mencubit pantatnya sekecil mungkin… akkkhhhhh teriak Dea.

***
                Suatu hari rangga memberanikan diri berkunjung ke rumah donna, itu pun atas saran Dea dan mereka berdua bersekongkol, hal itu dilakukan agar Donna terbiasa hidup banyak teman, minimal bertambah satu teman dengan Rangga. Karena rangga adalah teman yang baik menurut dea, karena sifatnya hampir mirip dengan dia dan suka mengingatkan Dea dengan kalimat-kalimat filosofisnya itu.

                Wiw, tok.tok… pintu rumah donna di ketuk
                “HAI DONNA….” Kata Rangga…
                “OH.. HAI, NGAPAIN?” kata Donna
                “Cari Dea, katanya lagi ada di rumah kamu ya?? Skalian mau pinjam buku, katanya dirimu suka banget sama bangunan? Aku lagi cari referensi bangunan-bangunan dari yunani kuno, pengen tahu nilai filosofis dari pembuatan dan desain bangunan-bangunan itu” kata Rangga panjang lebar
“masuk dulu, bukunya ada, nanti aku cari dulu..” kata donna
“ok, terima kasih donna.. mana dea?” Tanya rangga setelah sadar dia ga ada di dalam rumah
“lagi beli makanan dulu sama Hani” kata Donna datar dan kaku,
“aku boleh duduk di kursi kan?” Tanya Rangga
“yo, duduk aja.” Donna merapikan seluruh ruang tamu yang berantakan oleh semua majalah dan baju.
“eh, kamu tiga bersaudara ya? Adikmu semuanya laki-laki”
“ya..” kata Donna
“wah..matab, berarti kamu kakak pertama, biasanya kalau anak pertama dari tiga bersaudara itu akan cenderung otoriter sama adik-adiknya, menurut pandangan psikologis” kata Rangga berusaha membuat suasana senyaman mungkin
“ah, masa? Aku ga” katanya
“oh, salah”
Lalu dari pintu masuk tadi, Dea datang bersama seorang temannya
“woiii.. Rangga, maneh datang oge geuningan” kata Dea
nya atuh…” timpal Rangga
“ini kenalin, Hani.. panggil aja dia Gembrot” hhaaa.. kata Dea watados
Orang yang dipanggil itu hanya tersenyum lebar, ukh, untung dia ga tersinggung bisik hati Rangga.
“aku Rangga, temannya Dea.. di komunitas” kata rangga menjelaskan
“oh, ya hai..” hani pun sama saja, kaku gitu kayak donna. Mungkin baru kenal aja kali ya, pikir rangga.

***
Pertemuan kedua dengan donna di rumahnya:
                Awalnya rangga sama sekali tidak tertarik saat Donna memperkenalkan dunianya, donna dengan menggebu-gebu menjelaskan tentang gambar basic yaitu lingkaran, kotak dan segi tiga. Dan saat donna menunjukkan koleksi-koleksi bangunan dan alat-alat arsiteknya, Rangga hanya bilang oh tidak berkutik. Menurut rangga, semuanya tampak asing dan tidak ada nilai filosofis dan hikmah yang bisa dia cerna.
               Dan ternyata arsitektur itu tidak hanya berkutat soal bangunan, seingat rangga dulu di kampung halamannya yang namanya arsitektur itu kayak mang maman mungkin, yang biasa dipanggil orang buat bikin rumah, nama bekennya itu tukang bangunan.
                Tapi setelah beberapa waktu dia mencoba mengenal dan memahami donna dan dunianya, rangga pun seolah menemukan dunia baru yang melepaskan semua ide dan filosofisnya tanpa sebuah kata, hanya dengan garis. Dan rangga merasa puas.
                “Donna aku kan sebenarnya tidak mengenal arsitek, bahkan jurusan yang aku ambil sekarang pun ga mendukung aku untuk menekuni dunia itu, tapi garis-garis itu udah membuat aku menemukan diriku, tepatnya sebagian diriku ada dalam garis-garis itu. 
tapi, untuk bisa menjadi sesuatu yang bernilai, bukankah itu harus di tekuni? 
kamu tahu sendiri, aku kan hanya setengah-setengah menjalani itu, aku takut waktu yang aku berikan pada dunia baru ini akan menjadi satu hal yang sia-sia”. Kata rangga pada satu waktu.
                “oia, sekarang aku seperti terjebak dalam dunia kamu, dan memahami betul kenapa kamu bisa sampai dan hampir menjadi orang yang AnSos gitu, mungkin kamu pun awalnya tidak ingin seperti ini. Tapi setelah tau cerita kamu, bahwa kamu menemukan garis-garis itu karena tidak sengaja pun dan akhirnya kamu terjebak dan menemukan hidup kamu disitu, tapi kamu sudah menjalani itu bertahun-tahun, bahkan kamu sudah sedikitnya membuahkan sebuah hasil dan karya, tapi aku sama sekali baru, kamu lihat sendiri kan? hasil bangunan miniature yang aku buat? Gubuk reyot yang ambruk kalau mejanya digebrak..’ hhaa kata rangga.
                “Rangga, asal kamu mau belajar dan konsisten aja. kamu pasti bisa , kamu jangan menyerah! Dan aku adalah orang yang mendidik diri aku sendiri dengan sangat keras, jadi kalau ada orang yang gampang menyerah dan putus asa, aku akan sangat mudah berlari dan meninggalkannya, tidak ada toleransi bagiku, karena hidup pun mengajarkan aku untuk seperti itu” kata donna sambil menatap tajam rangga
                “hufph.. aku sih ingin belajar, tapi…” rangga tidak mau membuat banyak alasan dalam hidupnya maupun di hadapan donna.
                “pertanyaannya, kamu mau belajar atau ga?” desak donna “yah, aku mau..” kata rangga dengan sedikit ragu datang menjalar.
                “donna, hidup itu kalau secara filosofis dari seorang plato "segala sesuatu yang ada di alam ini hanyalah bayangan dari ide-ide yang abadi..." nah, kamu pernah ga mikirin itu? semua bangunan yang kita ciptakan seindah apapun bakal sirna, terus nilai apa yang ingin kamu kejar” Tanya rangga pada donna
                “GUE pengen menciptakan karya buat semua orang, karena pada saat semua orang menghargai hasil karya kita, harga nya pun pasti mahal” kata donna menggebu-gebu
“iya sih, totalitas, tapi tetap saja penghargaan itu pun akan lenyap dan tak bersisa bukan?”
“ya, saat semua orang bahagia, bukannya kita pun menjadi manusia yang bermanfaat, ya ga?” donna menjelaskan lagi.
“iya sih, tapi tetap saja aku kurang puas dengan jawaban itu” kata rangga
“ah, kamu! Berharap mimpi yang tinggi, tapi totalitas untuk belajar saja mengeluhnya minta ampun..” ledek donna
Rangga gelagapan dengan pernyataan itu, “hhmmhhm… ya mungkin” katanya
"terus target tertinggi kamu apa?" tanya rangga "selain yang tadi kamu bilang.." lanjutnya
"aku ingin menjadi seorang artsitek dan membuat bangunan-bangunanku di seluruh dunia, dan aku tidak bisa sendiri menjalani itu" kata donna
"waow bagus. bagus.. " kata rangga
"apanya yang bagus?"
"bagus, berarti donna udah mulai menyadari bahwa dia ga bisa hidup sendirian..." timpal dea yang sedari tadi mendengarkan percakapan sambil membuat desain bangunan dalam laptopnya.
"emang aku begitu?" donna merenggut
"cape deh, baru sadar?" kata dea
hhaa.. hhaa..
mereka bertiga tertawa dalam ruang kerja donna, hani tidak datang saat itu. dia sedang sibuk dengan tugas kelompok di kampusnya.
ruangan luas dengan berbagai macam alat-alat arsitektur dan cat-cat yang menciprat ke lantai menjadi satu moment tertentu yang tidak bisa dilupakan.
rangga, menatap donna dan dea, lalu matanya beredar menuju ruangan itu...
kosong tapi isi.


Malaikat tak bersayap,
Hatinya terpaut  dengan sang langit dan
kakinya terikat oleh sang bumi…
jiwanya bercahaya dan merindukan Sang Cahaya…
tapi matanya menatap bunga-bunga layu…
di atas bumi…
ingin segera menerangi
mendekatkannya dengan cahaya
tapi…

Dia tak bersayap


Minggu, 09 November 2014

Kotak Pandora (Stg II)



Dunia tercipta dengan keseimbangan, 
kita mengenal pertemuan dan kita pun akan bersiap bertemu dengan perpisahan...
kita terlahir dan kita akan mati... itu semua hanya kesementaraan,
dan disana kita akan bertemu. dalam keabadian...
***
“hhmm… nona galak! Lagi apa kau?  jalan-jalan yuk…” ajak andrea partner kerjaku seorang kameramen baru di sebrang telepon seluler.
“boleh.. kebetulan manusia yang libur di hari rabu hanya kita berdua?" kata deswita. "asik.. dimana kita bertemu?." kata andre
“ok kita ketemu ditaman..” jawabku“wuiihhh… nona galak mainannya di taman!”
“mau ga?” Tanya deswita
“ok.ok fiks.. yang penting jalan-jalan, hore-hore” kata dia lewat telepon seluler
“dasar aneh..” gerutuku
 ***
Di taman Cileunci, suasana begitu sejuk. Oksigen yang dikeluarkan oleh zat hijau daun menyeruak masuk mengisi rongga dada, segar. Saat kuhirup napas dalam-dalam
“apa itu rasa takut? “Tanya andre tiba-tiba
“apa ya… mungkin sesuatu yang membuat kita berhenti bergerak untuk melakukan sesuatu” jawabku seadanya
“hhmm… lalu apa ketakutan terbesarmu?” Tanya andre, eh, deswita sontak terkejut apakah aku harus jujur padanya?
“saat ini belum ada” jawab deswita “karena aku musuhmu yang tidak takut kehilangan apapun...” lanjut deswita 
“wah, tidak mungkin! Rasa takut itu menjadi bagian diri kita, manusia.. “ katanya
“kalau kita tidak memiliki rasa takut, berarti kita makhluk yang sangat sombong, tidak membutuhkan orang lain, aku pun memiliki rasa takut… masa kamu tidak???” kata dia
“memang apa ketakutanmu?” Tanya deswita penasaran
“aku takut kehilangan HARAPAN..” kata andre…  lalu dia melanjutkan kalimatnya
“harapan untuk dapetin kamu nona galak…” hhaaa.. andre tertawa lepas, deswita merenggut, dia pun sontak berfikir, “kalau begitu aku pun punya rasa takut..” katanya
 “apa itu?” kata andre
“aku takut kamu pergi meninggalkan aku, sebelum kamu traktir aku sekarang...” Deswita membalasnya, “hhaa..” mereka tertawa bersama, 
rasa bebas ini hadir, menggeserkan ketakutan itu untuk sementara, bersama andre seperti ini memberiku keyakinan pada banyak hal, ah. Tidak ini hanya sesuatu yang akan pergi secepat dia datang.. 
***
Kedatangan andre dan bersama dengan dia, selalu membuatku terlupa pada kotak itu. 
Dan rasa takut itu sejenak hilang, dia memberiku warna baru, hidup optimis, harapan dan mimpi. 
Dia tidak mengatakan itu secara langsung, dia berkata-kata dengan pertanyaannya padaku, dan pada akhirnya kita berdua akan menyimpulkan bersama. Hal yang membuatku tertarik padanya adalah dia selalu berfikir luas, dan dunia ini pun luas, dan banyak sekali manusia-manusia hebat yang harus dia temui, untuk belajar darinya.
“andre.. aku mau bercerita sesuatu padamu” kataku suatu waktu saat kami istirahat dari liputan di sebuah daerah yang sangat pelosok dan membutuhkan waktu tiga jam untuk sampai kesana.
“apa itu miss?” katanya
“kau pernah tau kotak Pandora?” tanyaku
“pernah, waktu itu aku pernah baca di sebuah internet, itu kan kotak dari mitos yunani gitu. Ya kan?”
“ya… percaya ga kalau aku memiliki kotak itu” kataku
‘woaw.. percaya bingits, kamu kan mirip Pandora yang cantik.. hhaa tapi dilihat dari sedotan, hha.. percaya ga kalau aku zeus?” hhaa.. dia tertawa lepas dan puas
“yey.. aku percaya kalau kau tuh mirip Hercules” kata deswita
"hercules kegilas kuda.. hha" aku pun balas meledeknya… perbincangan ini pun terhenti.
 ***
“Ndre, dimana kotak itu!! Kembalikan!!” bentakku dengan marah
“wow, jangan sewot gitu, non…” katanya
“kau mencuri kotak itu dariku?? Kenapa?? Kau menginginkan kekuatan dari kotak itu?? Ternyata selama ini aku salah menilaimu..” marah bercampur benci deswita tumpahkan
Deswita berkeliling, mencari kotak itu dalam kamar andre… 
dia keluarkan semua barang-barang, di banting semua barang.. dengan kemarahan yang meluap-luap
“bangsat kamu ndre.., kamu tahu, bertahun-tahun aku menjaga kotak itu, kalau saja aku tahu dari awal kamu mau mencuri kotak itu, tidak akan pernah aku ceritakan kotak itu padamu, kenapa disaat aku mempercayai kamu dan berharap kamu bisa ada bersamaku, menjaga kotak itu, kau malah mengambil kotak itu dariku.. SEKARANG MANA KOTAK SIALAN ITU!” kemarahan semakin membesar, deswita tidak sanggup lagi membayangkan apa yang terjadi jika kotak itu sudah dibuka…
Tiba-tiba, tangan kekar menggenggam kedua tangan deswita erat, 
“LEPASKAN NDRE.. KAMU MAU APA!”teriak deswita..
“KAMU DIAM SAJA..!” kata andre
“LEPASKAN!!! KURANG AJAR KAMU.. “ tangan itu menggusur paksa badan deswita, lalu menariknya pada sebuah kursi…
“ANDRE APA YANG KAMU MAU LAKUKAN? KAMU GILA!!” bentak deswita
Seketika badan deswita di dudukkan di atas kursi, lalu kedua tangannya diikat kebelakang, begitu pun kedua kakinya diikatkan pada kaki-kaki kursi. Tangan kekar andre, mengambil sebuah kain, lalu diikatnya mulut deswita, deswita memberontak, tapi tenaganya tidaklah sekuat andre…
“waawhhwawggkkttuunn…” deswita menggerutu kepada andre dalam ikatan kain.
“DENGARKAN AKU NONA MANIS!!!” bentak andre..
“AKU AKAN MEMBUKA KOTAK INI DIHADAPAN KAMU!” hhaahaa.. andre tertawa terbahak-bahak
“KAMU AKAN LIHAT, KEKUATAN APA YANG BISA AKU DAPATKAN, DAN KITA AKAN LIHAT BAGAIMANA DUNIA INI AKAN HANCUR!!!” teriak nya lagi
“ggkkhhrrrrwwajjjj..”deswita memohon, air matanya tidak dapat lagi terbendung, dia terisak-isak dan memohon kepada andre
“AKU TIDAK PEDULI…” kemudian andre mencari-cari kunci untuk membuka gembok kecil pada kotak itu. Kunci itu tersolatip di bawah kotak, andre bisa dengan cepat menemukannya, lalu setelah itu dia memasukkan anak kunci ke dalam gembok kotak yang beribuan tahun tidak pernah dibuka… 
Andre memutar anak kunci ke kanan…
“jaggnggaann…..wwkktth” deswita berteriak-teriak, dia berusaha menggulingkan badannya ke lantai.
Kreekkkk..clik
Asap keluar dari kotak itu, deswita semakin menggila berusaha melepaskan diri dari kursi. Lalu perlahan, andre membuka kotak itu, 
dari dalam kotak... terpancar sebuah cahaya dari dalam kotak… Tiba-tiba seisi ruangan itu menjadi terang benderang..Setiap sudut tertutup oleh cahaya..
Deswita menjerit sekuat tenaga, dan akhirnya semua menjadi gelap… perlahan matanya menutup dan semuanya menjadi hitam pekat,  tak ada lagi suara, semuanya menjadi sunyi senyap...
Oh Tuhan, dimanakah aku berada?... 
***
Taman hijau penuh dengan rerumputan, Tanah basah sehabis hujan menyisakan bau segar.. Burung-burung beterbangan, berteger dari satu batang menuju batang yang lain Berkicau menyambut pagi, dan bunyi tetes embun di atas air Memberikan rasa syukur yang tidak akan tergambarkan…
 Di atas kursi roda, aku menatap semuanya..
“kamu mau jalan-jalan kemana lagi, nona manis?” Tanya andre lembut
Di mencondongkan badannya mensejajarkan wajahnya dengan wajahku, aku menatap bola matanya yang bening dan menenangkan, dia tersenyum lembut.
“aku ingin mendekati danau itu, kataku, maukah kau menolongku?” pintaku kepadanya
“tentu! apa yang tidak kuberikan untukmu….” katanya, dia menuntun kursi rodaku menuju danau, Diujung danau kami berhenti, kuhirup udara pagi itu..lalu kuhembuskan perlahan,
 “kenapa kau melakukan itu kepadaku?” Tanya dewita, antara sadar dan tidak
“aku peduli kepadamu….” Katanya
“hanya itu?” Tanya deswita berharap lebih..
“ya, hanya itu.. aku hanya ingin kau keluar dari kotak kecilmu.. dan aku hanya ingin membuktikan bahwa ketakutanmu itu bukanlah apa-apa, kau bisa keluar dari kotak itu, dari rasa takut itu, asal kau memiliki sebuah harapan yang besar.. teruslah berharap nona manis! karena aku ingin terus menatap senyumanmu” katanya menenangkan deswita
Hanya peduli…
“ok, terima kasih ndre..., 
dulu aku bertanya pada ibuku bagaimana menemukan kunci untuk bisa meghalau kekuatan besar yang dapat menghancurkan dunia ini dari kotak itu, dan ibuku tidak tahu jawabannya, 
tapi sepertinya sekarang aku tahu.. bahwa semua rasa takut, keputusasaan, penyesalan dan kebencian hanya bisa kita redam dengan sebuah kunci yaitu HARAPAN… dan hal itulah kunci agar manusia bisa bertahan hidup. Sebuah HARAPAN!”
“baguslah! sekarang kau sudah membuka gembok yang mengunci hidupmu, kau harus terus memiliki HARAPAN, BERHARAPLAH apapun yang kau inginkan…, jadikan itu satu-satunya alasan kamu untuk TETAP BERTAHAN HIDUP!” kata andre
Kalau aku berharap kamu tidak berkata HANYA PEDULI, kalau aku berharap kamu tetap disini bersamaku, bolehkan aku berharap seperti itu?
Andre duduk di atas rerumputan hijau, menatap danau lalu melempar batu-batu kecil ke danau. Deswita menatapnya, lalu terdiam dan air matanya pun berlinang, kotak kecil yang dari tadi ada dalam genggamannya, dia tatap… dia hanya menangis, membisu…
Perlahan dia membuka kotak itu…Kosong.. tidak ada apapun…
Lalu dia pejamkan matanya, air matanya semakin deras… lalu dalam hati dia berkata
akan kuisi kotak kosong ini dengan harapan, biarkan aku tetap berharap kau ada disini, dalam bayangan sekalipun, menemaniku karena aku membutuhkanmu, walau dalam memori,
dan biarkan perasaan ini tersimpan, walau kau tidak pernah ada dan mengetahuinya, biarkan kau hidup disini dalam kotak kosong ini...hingga nanti aku buka dan semuanya nyata...
 dalam setiap tetesan air mata yang jatuh dalam kotak itu, lalu muncul sinar membentuk sebuah mutiara, gemerlap…tiga harapan itu membentuk tiga mutiara gemerlap,
 Deswita tersenyum manis, lalu menatap andre…Andre merasa puas, lalu tersenyum pula…
 ***
Sepuluh tahun yang lalu seorang anak laki-laki menangis dalam pelukan ibunya, yang terbaring di atas ranjang yang dilapisi kasur yang sangat tipis, “ibu, ibu jangan tinggalkan aku..” teriak anak itu, ibunya terbatuk-batuk perih, berkata dengan suara parau
“nak, ada satu dosa yang ingin ibu tebus… sakit fisik yang ibu derita bertahu-tahun setelah kehilangan ayahmu tidaklah sesakit hati ibu menahan dosa yang harus aku tanggung ini” katanya perih.
“ibu bicara apa? Ibu wanita yang baik... aku yakin Tuhan akan menolong ibu” kata anak itu
“ibu punya satu dosa, ambil foto seorang ibu dan anak perempuan yang ada di toples kaleng itu nak” pinta ibu pada anak lelaki itu, anak itu berangsut menuju kotak kaleng di atas ranjang kayu reyotnya
‘ini bu” kata anak itu menyerahkan foto pada ibunya, “nak perhatikan, ini adalah kakak perempuanmu, dia satu darah denganmu, darah ayahmu. Usia nya dengan mu hanya terpaut empat tahun denganmu, dia adalah anak bapak dari istrinya yang pertama. Dosa ibu adalah merebut bapakmu dari mereka berdua, dan merebut kotak pandora dari ibu itu yang namanya murni, dan anaknya bernama deswita, semua kesulitan sudah ibu terima, sekarang satu-satunya yang membuatku bertahan adalah sebuah harapan agar aku bisa mengembalikan semua harapan-harapan kepada anak perempuan itu, ibu ingin mengembalikan hidup yang sudah aku rampas, nak! Dan itu harapanku”
“iya bu… andre berjanji! Akan menemukan mereka dan mengabulkan semua harapan ibu” tangisnya, lalu ibunya tersenyum, dalam pedih dia menutup akhir hidupnya, dan mata terakhir itu menyimpan harapan pada anak lelakinya.
***
Pada kolom sajak bebas tulisan deswita dimuat :
Dalam diam aku berkata-kata,
Dalam kehilangan aku mengenal ketulusan,
Dalam cinta aku mengenal harapan,
Dalam kesementaraan biarkan ini abadi..

Dan biarkan aku menjagamu,
Hingga benar nyata keberadaanmu…


-Dew-