-Bias-
Kita hanya sebuah
miniature kecil dari alam semesta,
Dan saat kita menatap
jagat raya…
semua bias…
Saya Rangga, mahasiswa psikologi semester empat
di sebuah Universitas negeri di kota Bandung. Belajar psikologi menurutku tidak
semudah belajar arsitek, karena jiwa bukanlah sebuah bentuk yang tampak seperti
halnya sebuah sudut dan bangun.
Walaupun seperti itu, aku masih belum dapat
menguasai seni arsitek dari sahabatku Donna dan Dea, mereka adalah mahasiswi
arsitek semester tujuh di universitas negeri di kota yang sama denganku.
Sudah enam bulan perkenalanku dengan mereka,
mulanya aku kenal dengan Dea pada satu kegiatan komunitas yang diadakan antar
universitas kami, dari sana, aku mulai akrab dengannya dan dia mengenalkan
Donna, sahabatnya. Sebuah alasan kami bertemu adalah untuk nanti berpisah. Di
satu titik takdir.
Dalam garis perjalanan kami, mimpi menghiasi
setiap pertemuan kami, Donna lah yang sebenarnya memiliki mimpi itu. Sementara
aku, masih pada perjalanan mencari makna dari mimpi itu. Tapi, darinya aku
belajar tentang ambisi, sebuah lokomotif kehidupan, bara batu bara yang dibakar
untuk menjalankan gerbong-gerbong kereta hidup kita.
Mimpi kami begitu besar, mencoba menjelajahi
dunia dan meninggalkan jejak di atas tanahnya dengan ide-ide kami, membangun
sebuah bangunan yang kami anggap akan menjadi sebuah keabadian, hingga setiap
masa akan menyaksikannya dan mencari nama kami, walau raga sudah di liang lahat
sekalipun.
Setelah rutinitas di kampus selesai aku langsung
menuju studio tempat kami menuangkan ide-ide, tahap yang aku sedang pelajari
sekarang adalah BELAJAR. Untunglah kata itu bukan kata yang asing dalam kamus
hidupku. Menikmati setiap waktu yang berlalu dengan hal-hal yang baru, karena
menurutku jiwa membutuhkan itu. hal-hal yang baru, jika kita hanya
berputar pada tempat yang sama dengan masalah-masalah yang sama, JENUH itu akan
datang masuk ke dalam celah jiwa kita, dan mengikatnya menjadi satu aliran
listrik yang sejenak mematikan seluruh aliran darah, atau bahkan selamanya.
“Minggu depan aku off dulu ya, mau focus buat
ujian semester genap” kataku pada Donna
“oke… kalau bisa jangan off banget, lumayan lama
soalnya, dua minggu. Seminggu dua kali aja loe kesini ya..” katanya. Matanya
tak beranjak dari sketsa di layar monitornya.
“waduh, asli, saya ga bisa…”
“focus itu bisa banyak bro! tergantung kamu mau
maksimal atau ga! kaya loe nyetir motor aja, bukan Cuma jalan aspal aja yang
dilihatnya kan? Ya kan? Nah, itu juga bisa dikatakan fokus”
“ah, Donna kan ga mejalani rutinitas kaya aku,
kamu Cuma focus sama tugas akhir kamu dan kamu pun hanya focus membangun mimpi
kamu! Coba kamu fikir, kapan kamu mau memahami dunia aku? Terjebak dalam
masalah orang lain, masuk ke dalam jiwa orang lain, mencari teori-teori yang
sesuai untuk menjawabnya dan melihat banyak mata yang ketakutan, putus asa
bahkan menatap miris manusia layaknya binatang, pernah ga kamu menengok
pinggiran jalan raya yang terkadang berlalu lalang manusia tak berbusana, manusia
yang mengais makanan dari tempat sampah, dan manusia-manusia itu kita lewati
begitu saja seperti ANJING! Apa itu mimpi? Kita hanya terjebak dalam mimpi!
Menurutku, kita tidak berbeda jauh dengan mereka yang kadang tidak dapat lagi
membedakan mana nyata dan ilusi”.
“loe kenapa? Sakit? Yaudah kalau loe ga sanggup,
kagak usah nyolot gitu” kata dea pada rangga. Donna hanya diam saja, membeku di
hadapan Laptopnya, tangannya terus bergerak, terdengar bunyi klik.klik dari mouse yang di tekan.
Rangga menatap donna, ada perasaan bersalah
dalam hatinya. “saya cuma lagi capek aj..” kata rangga.
Ruangan itu tetap sunyi, Dea menatap rangga,
“yaudah pulang aja loe, ribet banget sih” kata Dea
“yaudah, gue pulang dulu…” rangga beranjak
meninggalkan ruangan itu. dia bereskan semua barangnya ke dalam tas gendong
TEUGADUDEUI nya, “maafin saya ya…Donna”
Lantas dia pergi meninggalkan donna dan dea
dalam kondisi tak menentu, rasa lelah itu
datang lagi bisik hati rangga.
***
Sudah tiga minggu, rangga menatap kalender
yang terpaku di dinding kamarnya.
Wajah donna terus membayangi dia, maaf aku tidak bisa melakukan yang terbaik untuk membangun sesuatu,
apapun itu
Entahlah, aku kembali pada titik menghancurkan mimpi orang lain,
Dan wajah Donna yang keras dan kuat itu selalu hadir dalam bentuk
yang lain dalam benaknya, sesuatu yang rapuh…
Ayolah rangga! Tidak semua
orang seperti apa yang kamu fikirkan, oke!
rangga bukanlah malaikat, tapi kamu bisa berupaya memberikan kebahagian untuk
setiap orang dan jangan kau ukur kebahagiaan itu dari teraihnya semua mimpi,
BINTANG tak selalu indah dalam dekat, BINTANG akan tampak cantik jika tetap
berada di atas, biarkan dia disana dan biarkan kita tetap melangkah… sebuah
proses adalah mimpi yang menjadi nyata, tak peduli bagaimana hasilnya.
Rangga menatap langit-langit kamarnya, menatap
lampu yang menyala. Lalu, selintas dia berfikir sebuah ide. Oke! Besok aku akan kesana membawa benda
itu…
***
Pada pagi hari rangga segera berangkat ke sebuah
tempat untuk membeli sebuah barang…
Tok.tok… “assalamualaikum dua
sister cantik” teriak rangga dari luar rumah Donna.
Kreeekkkkk suara rumah Donna yang
terbuat dari kayu terdengar bergesekan dengan lantai, donna yang membukakan
pintu. Sekilas wajahnya agak terkejut menatap rangga… rangga hanya tersenyum
lebar kepada donna.
“ah, dasar muka modus…” kata Donna dia pun membalas senyum rangga “jangan
masuk!” teriaknya bercanda, “yakin?” kata rangga “yakin..” sambil dia membuka
pintu dengan lebar “jangan masuk ke luar! Masuk ke dalam aja yuk!” hha.. mereka
berdua tertawa
“bawa apaan loe?” Tanya Donna pada rangga “ada deh, kamu jangan
protes ya!”
“terserahlah, asal jangan bawa ANJING lagi , oke!” ledek Donna
“hahaha… ga lah!” katanya menaikkan alis dan berlagak serius
sambil memegang erat kotak besar seukuran dus indomie goreng di tangannya.
“mana Dea?” tanyanya pada donna
“belum datang…” dari pagar halaman tampak dea masuk dengan motor
scopy nya, gayanya yang necis dan
berkacamata besar membuat rangga tak berkedip, saking besarnya kacamata yang
dipakai Dea, hingga menutup hidungnya sendiri.
“woii… jiah ada si cinta
datang” teriak dea dari tempat dia memarkirkan motor
“yoa, kenapa neng dea kangen sama rangga? Tapi sayang diantara
kita tidak ada cinta..” kata rangga,
“amit. Amit deh.. jangan sampe deh kayak gitu” kata dea.
Mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah dan langsung menuju studio
mereka.
“tumben datang jam segini, ga ke kampus? oh udah beres ya… bawa
apaan loe?” Tanya dea sambil menatap dus yang di bawa rangga.
“ada deh.. kalian berdua mau bantu aku kan?” tanya rangga
“sebelum kita mulai kerja lagi, bantu aku masang ini di semua
ruangan studio kita, OK? FIKS!” kata rangga sepihak tanpa menunggu jawaban dari
mereka berdua.
“ok, lah… rehat dulu nge-desainnya” kata Donna
Rangga pun menaruh dus di atas meja, lalu mulai membongkar dan mengeluarkan
isinya “akhh rangga, kamu bawa appan ini? Parah loe! Mau merusak desain ruangan
aku dengan benda kayak gitu? Ini sih mainan anak SD” teriak Donna.
“ayolah donna, pli.plis.plis… gapapa kan?” pinta rangga
Donna menatap rangga “terserah lah… tapi jangan disitu. Disitu. Disitu” kata
donna sambil menunjuk beberapa sudut… “oke donna cantik, ups hitam, eh salah
hitam manis… hha” kata rangga bersemangat “aku mau pasang tepat disitu” katanya
sambil menunjuk langit-langit.
“boleh lah…” kata donna menyetujui
Mereka bertiga dengan susah payah, naik-naik tangga untuk
menempelkan barang yang rangga bawa di atas langit-langit…
Tiga jam pun berlalu, akhirnya mereka selesai memasangkan
benda-benda itu…
Setelah tiga minggu tak bertemu, mereka ngobrol kesana kemari
bercerita semua aktivitasnya, pembicaraan pun terkadang di bumbui dengan bulian
yang membuat mereka tertawa bersama.
Setelah mereka shalat maghrib berjamaah, mereka bertiga pergi
keluar mengisi perut mereka, lalu balik lagi ke rumah.
Di ruangan studio sketsa,
“eh, kemari kalian,” ajak rangga “nanti tepat jam 12 aku mau
memberi tahu sesuatu” kata rangga
“apaan sih loe…”
“ssttt.. lima menit lagi….” Rangga membiarkan suasana menjadi
hening dan seolah terhipnotis semua menatap jam dinding yang tergantung di
studio.
“30 detik lagi….” Kata rangga,
“5.4.3.2.1.0….” rangga mulai berhitung
ctreeekk saklar lampu di tekan, seketika
ruangan gelap, semua sudut menjadi kelam, tapi mata mereka terpaku pada
langit-langit ruangan. Dari sana terpancar cahaya dari benda-benda langit yang
tadi mereka pasang. Sebuah gambar galaksi bima sakti yang menyala lengkap
dengan bintang-bintang dan seluruh planet-planetnya.
Donna dan Dea terpesona pada langit-langit
studio.…”seperti bergerak” bisik dea.
Akhirnya mereka bertiga pun terduduk di atas lantai dan tetap
menatap langit-langit,
“kecil banget ya kita” kata dea
“iyalah, yang kita lihat ini adalah galaksi bima sakti… disana ada
ribuan planet-planet yang mengelilingi bintang, ini hanya baru satu galaksi”
kata donna
“tahu ga kenapa aku melakukan hal ini?” Tanya rangga
“kenapa?” tanya donna
“lihat disana, titik itu” tunjuk rangga pada sebuah bintang yang
bercahaya di kejauhan “aku ingin kita semua menaruh mimpi kita di atas sana,
kamu tahu kenapa? Agar kita terus menatap ke atas dengan optimis dan agar kita
selalu melangkah ke depan, dan terus bergerak…
Lalu rangga menyorotkan sebuah lampu senter ke wajahnya sendiri,
lalu kedua wanita itu menatapnya…
“dan pada saat kalian terpukau dengan bintang yang bercahaya
terang di atas sana, aku harap kalian jangan pernah lupa pada sinar lampu
senter ini, walaupun cahayanya tidaklah seterang dan secantik bintang-bintang
itu, tapi senter ini adalah cahaya pertama yang siap untuk membantu kalian
untuk berjalan melangkah menuju bintang-bintang itu…” kata rangga
Donna dan Dea tersenyum “tenang kawan, sebuah lingkaran yang akan
kita jejaki bersama nanti, saat mengelilingi dunia ini, akan tetap aku ingat
bahwa dia terbuat dari titik-titik langkah yang kita jalani bersama-sama..”
kata Donna
“tapi aku ga mau titik-titik itu dibuat dari tinta warna hitam,
cukuplah kamu yang hitam donna, jangan lingkarannya..” ledek rangga
“hhaa.. parah lu, cuka banget” kata donna
“dan kamu De, mudah-mudahan setelah lingkaran itu selesai, hal
yang ingin aku tambahkan adalah lingkaran hidungmu, biar tambah mancung aja
hidung pesekmu..” ledek rangga
“no.no..” kata Dea “biarkan hidung ini tetap pada tempatnya,
karena hidung ini menjadi saksi kenangan untuk kita bertiga” kata dea sok
puitis.
Hhaa.. mereka pun tertawa dalam ruangan gelap, sambil terus
menatap galaksi yang ada di atas mereka…
Dalam luasnya semesta
ini,
Kita hanya miniature
terkecil…
Dan menjadi bias,
Tapi saat kita bersama-sama
membangun cinta, persahabatan, dan sebuah mimpi…
Maka dari ufuk yang jauh
disana.
Bintang itu menjadi
sangat terang…

