-Sebuah Alasan-
“untuk sebagian orang rumah itu seperti penjara yang memenjarakan
ide, pikiran dan fisik,
Tapi banyak pula yang nyaman hidup dalam penjara”
Siapa yang memulai pertemuan ini? benar-benar
lupa, Rangga berusaha mengingat sekeras mungkin, tapi wajah dia tak bisa untuk
dilupakan begitu saja.
Awalnya, rangga hanya diminta bantuan oleh Dea
buat merubah cara hidup temannya Donna yang menurut Dea diluar kebiasaan semua
orang, Dia yang hanya sibuk dalam sangkarnya dan membuat bangunan-bangunan tiga
dimensi berukuran kecil, mungkin biasa disebut miniature. Yah,
Donna hanya sibuk membuat miniature-miniatur dalam rumahnya.
Rangga memang lelaki pemberani yang sulit
meluluhkan hati wanita, dia tak pernah berhasil dalam membangun hubungan asmara
dengan siapa pun, tapi dia adalah jagoan buat sahabat-sahabatnya, terutama di
akhir bulan yang cekak dan seret oleh kertas berwarna merah, biru dan hijau..
sahabatnya pasti memanggil rangga tiga kali, dengan posisi tangan dirapatkan
dan muka semenderita mungkin, itu cukup untuk menjadi modal
meluluhkan hati rangga yang gak tegaan ini.
***
Donna adalah gadis yang sangat kaku, pandangan
nya tajam, berbicara seperlunya dan kalau tersenyum cukup menyeringai 1 cm dari
total keseluruhan panjang bibir, hhaa. Gaya berpakaiannya pun nyentrik habis,
dari atas sampai bawah semua serba hitam, itu pun di selaraskan dengan warna
kulit coklatnya, entah kenapa kulitnya berwarna seperti itu, padahal dari
kultur dan pola hidupnya itu seharusnya membuat dia setidaknya berwarna kulit
putih korea, pikir Rangga.
Ah,
sudahlah. kalau gue memandang orang dari fisiknya duluan nanti yang ada
gue malah gak akan kenal benar siapa dia bisik hati rangga saat
pertama kali melihat Donna berkunjung ke rumahnya, sebenaryna itu bukan
kunjungan tepatnya, tapi penculikan paksa yang dilakukan Dea.
Dea
ini sohibnya dari semenjak SD hingga kuliah.. berarti total pertemanan mereka
adalah enam belas tahun, dan menurut pengakuan Dea, mereka berdua menjalani
hal-hal yang sama selama hampir seperempat abad itu, mereka berkawanan dulunya
ada tujuh orang, tapi yang bertahan sampai di detik itu tinggal tiga orang,
yang lain menemukan dunianya masing-masing setelah masa SMA.
Rangga
seorang pemuda dari sebuah desa di daerah Sumedang nan jauh dimata.
Perwujudannya sederhana, dan lebih cenderung cuek habis, kemana-mana pake
sandal dan kaos tangan panjang, dengan celanan bahan katun, dan tas gandong
merk TEUGADUDEUI yang udah diperkirakan dia pake dari kelas satu SMA sampe
sekarang semester tiga perguruan tinggi.
Rangga
kalau bicara apa adanya, polos banget. Kadang itu jadi bahan bulian teman-temannya,
bahkan juga jadi bahan renungan. Walaupun Rangga ngomongnya polos
gitu, tapi pikirannya sedikit filosofis, katanya dia dapet semua kata-kata
filosofis itu karena dulu pas di kampung suka ngangon domba sambil
baca buku. :D
Pertemuan
pertama dengan Donna dibuka dengan kepolosan Rangga yang bilang neng
Donna teh tara kaluar rumah, tapi naha beut hideung? Tapi lumayan lah manis kata
Rangga kepada Donna, serentak Dea ngakak habis, ngetawain Donna, dibilang hitam
yang jelas memang dia hitam, hha.. Donna Cuma bilang biasa kalau lagi
ngecet bangunan kebanyakan warna hitam katanya datar sambil melotot ke
arah Dea dan kemudian mencubit pantatnya sekecil mungkin… akkkhhhhh teriak
Dea.
***
Suatu
hari rangga memberanikan diri berkunjung ke rumah donna, itu pun atas saran Dea
dan mereka berdua bersekongkol, hal itu dilakukan agar Donna terbiasa hidup
banyak teman, minimal bertambah satu teman dengan Rangga. Karena rangga adalah
teman yang baik menurut dea, karena sifatnya hampir mirip dengan dia dan suka
mengingatkan Dea dengan kalimat-kalimat filosofisnya itu.
Wiw,
tok.tok… pintu rumah donna di ketuk
“HAI
DONNA….” Kata Rangga…
“OH..
HAI, NGAPAIN?” kata Donna
“Cari
Dea, katanya lagi ada di rumah kamu ya?? Skalian mau pinjam buku, katanya
dirimu suka banget sama bangunan? Aku lagi cari referensi bangunan-bangunan
dari yunani kuno, pengen tahu nilai filosofis dari pembuatan dan desain
bangunan-bangunan itu” kata Rangga panjang lebar
“masuk dulu, bukunya ada, nanti aku cari dulu..” kata donna
“ok, terima kasih donna.. mana dea?” Tanya rangga setelah sadar
dia ga ada di dalam rumah
“lagi beli makanan dulu sama Hani” kata Donna datar dan kaku,
“aku boleh duduk di kursi kan?” Tanya Rangga
“yo, duduk aja.” Donna merapikan seluruh ruang tamu yang berantakan
oleh semua majalah dan baju.
“eh, kamu tiga bersaudara ya? Adikmu semuanya laki-laki”
“ya..” kata Donna
“wah..matab, berarti kamu kakak pertama, biasanya kalau anak
pertama dari tiga bersaudara itu akan cenderung otoriter sama adik-adiknya,
menurut pandangan psikologis” kata Rangga berusaha membuat suasana senyaman
mungkin
“ah, masa? Aku ga” katanya
“oh, salah”
Lalu dari pintu masuk tadi, Dea datang bersama seorang temannya
“woiii.. Rangga, maneh datang oge geuningan” kata Dea
“nya atuh…” timpal Rangga
“ini kenalin, Hani.. panggil aja dia Gembrot” hhaaa.. kata
Dea watados
Orang yang dipanggil itu hanya tersenyum lebar, ukh,
untung dia ga tersinggung bisik hati Rangga.
“aku Rangga, temannya Dea.. di komunitas” kata rangga menjelaskan
“oh, ya hai..” hani pun sama saja, kaku gitu kayak donna. Mungkin
baru kenal aja kali ya, pikir rangga.
***
Pertemuan kedua dengan donna di rumahnya:
Awalnya
rangga sama sekali tidak tertarik saat Donna memperkenalkan dunianya, donna
dengan menggebu-gebu menjelaskan tentang gambar basic yaitu lingkaran, kotak
dan segi tiga. Dan saat donna menunjukkan koleksi-koleksi bangunan dan
alat-alat arsiteknya, Rangga hanya bilang oh tidak berkutik.
Menurut rangga, semuanya tampak asing dan tidak ada nilai filosofis dan hikmah
yang bisa dia cerna.
Dan
ternyata arsitektur itu tidak hanya berkutat soal bangunan, seingat rangga dulu
di kampung halamannya yang namanya arsitektur itu kayak mang maman mungkin,
yang biasa dipanggil orang buat bikin rumah, nama bekennya itu tukang
bangunan.
Tapi
setelah beberapa waktu dia mencoba mengenal dan memahami donna dan dunianya,
rangga pun seolah menemukan dunia baru yang melepaskan semua ide dan filosofisnya
tanpa sebuah kata, hanya dengan garis. Dan rangga merasa puas.
“Donna
aku kan sebenarnya tidak mengenal arsitek, bahkan jurusan yang aku ambil
sekarang pun ga mendukung aku untuk menekuni dunia itu, tapi garis-garis itu udah
membuat aku menemukan diriku, tepatnya sebagian diriku ada dalam garis-garis
itu.
tapi, untuk bisa menjadi sesuatu yang bernilai, bukankah itu harus
di tekuni?
kamu tahu sendiri, aku kan hanya setengah-setengah menjalani itu,
aku takut waktu yang aku berikan pada dunia baru ini akan menjadi satu hal yang
sia-sia”. Kata rangga pada satu waktu.
“oia,
sekarang aku seperti terjebak dalam dunia kamu, dan memahami betul kenapa kamu
bisa sampai dan hampir menjadi orang yang AnSos gitu, mungkin kamu pun awalnya
tidak ingin seperti ini. Tapi setelah tau cerita kamu, bahwa kamu menemukan
garis-garis itu karena tidak sengaja pun dan akhirnya kamu terjebak dan
menemukan hidup kamu disitu, tapi kamu sudah menjalani itu bertahun-tahun,
bahkan kamu sudah sedikitnya membuahkan sebuah hasil dan karya, tapi aku sama sekali
baru, kamu lihat sendiri kan? hasil bangunan miniature yang aku buat? Gubuk
reyot yang ambruk kalau mejanya digebrak..’ hhaa kata rangga.
“Rangga,
asal kamu mau belajar dan konsisten aja. kamu pasti bisa , kamu jangan
menyerah! Dan aku adalah orang yang mendidik diri aku sendiri dengan sangat
keras, jadi kalau ada orang yang gampang menyerah dan putus asa, aku akan
sangat mudah berlari dan meninggalkannya, tidak ada toleransi bagiku, karena
hidup pun mengajarkan aku untuk seperti itu” kata donna sambil menatap tajam
rangga
“hufph..
aku sih ingin belajar, tapi…” rangga tidak mau membuat banyak alasan dalam
hidupnya maupun di hadapan donna.
“pertanyaannya,
kamu mau belajar atau ga?” desak donna “yah, aku mau..” kata rangga dengan
sedikit ragu datang menjalar.
“donna,
hidup itu kalau secara filosofis dari seorang plato "segala
sesuatu yang ada di alam ini hanyalah bayangan dari ide-ide yang abadi..." nah,
kamu pernah ga mikirin itu? semua bangunan yang kita ciptakan seindah apapun
bakal sirna, terus nilai apa yang ingin kamu kejar” Tanya rangga pada donna
“GUE
pengen menciptakan karya buat semua orang, karena pada saat semua orang
menghargai hasil karya kita, harga nya pun pasti mahal” kata donna
menggebu-gebu
“iya sih, totalitas, tapi tetap saja
penghargaan itu pun akan lenyap dan tak bersisa bukan?”
“ya, saat semua orang bahagia, bukannya kita
pun menjadi manusia yang bermanfaat, ya ga?” donna menjelaskan lagi.
“iya sih, tapi tetap saja aku kurang puas
dengan jawaban itu” kata rangga
“ah, kamu! Berharap mimpi yang tinggi, tapi
totalitas untuk belajar saja mengeluhnya minta ampun..” ledek donna
Rangga gelagapan dengan pernyataan itu,
“hhmmhhm… ya mungkin” katanya
"terus target tertinggi kamu apa?"
tanya rangga "selain yang tadi kamu bilang.." lanjutnya
"aku ingin menjadi seorang artsitek dan
membuat bangunan-bangunanku di seluruh dunia, dan aku tidak bisa sendiri
menjalani itu" kata donna
"waow bagus. bagus.. " kata rangga
"apanya yang bagus?"
"bagus, berarti donna udah mulai menyadari
bahwa dia ga bisa hidup sendirian..." timpal dea yang sedari tadi
mendengarkan percakapan sambil membuat desain bangunan dalam laptopnya.
"emang aku begitu?" donna merenggut
"cape deh, baru sadar?" kata dea
hhaa.. hhaa..
mereka bertiga tertawa dalam ruang kerja donna,
hani tidak datang saat itu. dia sedang sibuk dengan tugas kelompok di
kampusnya.
ruangan luas dengan berbagai macam alat-alat
arsitektur dan cat-cat yang menciprat ke lantai menjadi satu moment tertentu
yang tidak bisa dilupakan.
rangga, menatap donna dan dea, lalu matanya
beredar menuju ruangan itu...
kosong tapi isi.
Malaikat tak bersayap,
Hatinya terpaut dengan sang langit
dan
kakinya terikat oleh sang bumi…
jiwanya bercahaya dan merindukan Sang Cahaya…
tapi matanya menatap bunga-bunga layu…
di atas bumi…
ingin segera menerangi
mendekatkannya dengan cahaya
tapi…
Dia tak bersayap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar