Senin, 24 November 2014

Malaikat tak bersayap (PART 1)



-Sebuah Alasan-

“untuk sebagian orang rumah itu seperti penjara yang memenjarakan ide, pikiran dan fisik,
Tapi banyak pula yang nyaman hidup dalam penjara”

Siapa yang memulai pertemuan ini? benar-benar lupa, Rangga berusaha mengingat sekeras mungkin, tapi wajah dia tak bisa untuk dilupakan begitu saja.
Awalnya, rangga hanya diminta bantuan oleh Dea buat merubah cara hidup temannya Donna yang menurut Dea diluar kebiasaan semua orang, Dia yang hanya sibuk dalam sangkarnya dan membuat bangunan-bangunan tiga dimensi berukuran kecil, mungkin biasa disebut miniature. Yah, Donna hanya sibuk membuat miniature-miniatur dalam rumahnya.
Rangga memang lelaki pemberani yang sulit meluluhkan hati wanita, dia tak pernah berhasil dalam membangun hubungan asmara dengan siapa pun, tapi dia adalah jagoan buat sahabat-sahabatnya, terutama di akhir bulan yang cekak dan seret oleh kertas berwarna merah, biru dan hijau.. sahabatnya pasti memanggil rangga tiga kali, dengan posisi tangan dirapatkan dan muka semenderita mungkin, itu cukup untuk menjadi modal meluluhkan hati rangga yang gak tegaan ini.

***
Donna adalah gadis yang sangat kaku, pandangan nya tajam, berbicara seperlunya dan kalau tersenyum cukup menyeringai 1 cm dari total keseluruhan panjang bibir, hhaa. Gaya berpakaiannya pun nyentrik habis, dari atas sampai bawah semua serba hitam, itu pun di selaraskan dengan warna kulit coklatnya, entah kenapa kulitnya berwarna seperti itu, padahal dari kultur dan pola hidupnya itu seharusnya membuat dia setidaknya berwarna kulit putih korea, pikir Rangga.
                Ah, sudahlah. kalau gue memandang orang dari fisiknya duluan nanti yang ada gue malah gak akan kenal benar siapa dia bisik hati rangga saat pertama kali melihat Donna berkunjung ke rumahnya, sebenaryna itu bukan kunjungan tepatnya, tapi penculikan paksa yang dilakukan Dea.
                Dea ini sohibnya dari semenjak SD hingga kuliah.. berarti total pertemanan mereka adalah enam belas tahun, dan menurut pengakuan Dea, mereka berdua menjalani hal-hal yang sama selama hampir seperempat abad itu, mereka berkawanan dulunya ada tujuh orang, tapi yang bertahan sampai di detik itu tinggal tiga orang, yang lain menemukan dunianya masing-masing setelah masa SMA.
                Rangga seorang pemuda dari sebuah desa di daerah Sumedang nan jauh dimata. Perwujudannya sederhana, dan lebih cenderung cuek habis, kemana-mana pake sandal dan kaos tangan panjang, dengan celanan bahan katun, dan tas gandong merk TEUGADUDEUI yang udah diperkirakan dia pake dari kelas satu SMA sampe sekarang semester tiga perguruan tinggi.
                Rangga kalau bicara apa adanya, polos banget. Kadang itu jadi bahan bulian teman-temannya, bahkan juga jadi bahan renungan. Walaupun Rangga ngomongnya polos gitu, tapi pikirannya sedikit filosofis, katanya dia dapet semua kata-kata filosofis itu karena dulu pas di kampung suka ngangon domba sambil baca buku. :D
                Pertemuan pertama dengan Donna dibuka dengan kepolosan Rangga yang bilang neng Donna teh tara kaluar rumah, tapi naha beut hideung? Tapi lumayan lah manis kata Rangga kepada Donna, serentak Dea ngakak habis, ngetawain Donna, dibilang hitam yang jelas memang dia hitam, hha.. Donna Cuma bilang biasa kalau lagi ngecet bangunan kebanyakan warna hitam katanya datar sambil melotot ke arah Dea dan kemudian mencubit pantatnya sekecil mungkin… akkkhhhhh teriak Dea.

***
                Suatu hari rangga memberanikan diri berkunjung ke rumah donna, itu pun atas saran Dea dan mereka berdua bersekongkol, hal itu dilakukan agar Donna terbiasa hidup banyak teman, minimal bertambah satu teman dengan Rangga. Karena rangga adalah teman yang baik menurut dea, karena sifatnya hampir mirip dengan dia dan suka mengingatkan Dea dengan kalimat-kalimat filosofisnya itu.

                Wiw, tok.tok… pintu rumah donna di ketuk
                “HAI DONNA….” Kata Rangga…
                “OH.. HAI, NGAPAIN?” kata Donna
                “Cari Dea, katanya lagi ada di rumah kamu ya?? Skalian mau pinjam buku, katanya dirimu suka banget sama bangunan? Aku lagi cari referensi bangunan-bangunan dari yunani kuno, pengen tahu nilai filosofis dari pembuatan dan desain bangunan-bangunan itu” kata Rangga panjang lebar
“masuk dulu, bukunya ada, nanti aku cari dulu..” kata donna
“ok, terima kasih donna.. mana dea?” Tanya rangga setelah sadar dia ga ada di dalam rumah
“lagi beli makanan dulu sama Hani” kata Donna datar dan kaku,
“aku boleh duduk di kursi kan?” Tanya Rangga
“yo, duduk aja.” Donna merapikan seluruh ruang tamu yang berantakan oleh semua majalah dan baju.
“eh, kamu tiga bersaudara ya? Adikmu semuanya laki-laki”
“ya..” kata Donna
“wah..matab, berarti kamu kakak pertama, biasanya kalau anak pertama dari tiga bersaudara itu akan cenderung otoriter sama adik-adiknya, menurut pandangan psikologis” kata Rangga berusaha membuat suasana senyaman mungkin
“ah, masa? Aku ga” katanya
“oh, salah”
Lalu dari pintu masuk tadi, Dea datang bersama seorang temannya
“woiii.. Rangga, maneh datang oge geuningan” kata Dea
nya atuh…” timpal Rangga
“ini kenalin, Hani.. panggil aja dia Gembrot” hhaaa.. kata Dea watados
Orang yang dipanggil itu hanya tersenyum lebar, ukh, untung dia ga tersinggung bisik hati Rangga.
“aku Rangga, temannya Dea.. di komunitas” kata rangga menjelaskan
“oh, ya hai..” hani pun sama saja, kaku gitu kayak donna. Mungkin baru kenal aja kali ya, pikir rangga.

***
Pertemuan kedua dengan donna di rumahnya:
                Awalnya rangga sama sekali tidak tertarik saat Donna memperkenalkan dunianya, donna dengan menggebu-gebu menjelaskan tentang gambar basic yaitu lingkaran, kotak dan segi tiga. Dan saat donna menunjukkan koleksi-koleksi bangunan dan alat-alat arsiteknya, Rangga hanya bilang oh tidak berkutik. Menurut rangga, semuanya tampak asing dan tidak ada nilai filosofis dan hikmah yang bisa dia cerna.
               Dan ternyata arsitektur itu tidak hanya berkutat soal bangunan, seingat rangga dulu di kampung halamannya yang namanya arsitektur itu kayak mang maman mungkin, yang biasa dipanggil orang buat bikin rumah, nama bekennya itu tukang bangunan.
                Tapi setelah beberapa waktu dia mencoba mengenal dan memahami donna dan dunianya, rangga pun seolah menemukan dunia baru yang melepaskan semua ide dan filosofisnya tanpa sebuah kata, hanya dengan garis. Dan rangga merasa puas.
                “Donna aku kan sebenarnya tidak mengenal arsitek, bahkan jurusan yang aku ambil sekarang pun ga mendukung aku untuk menekuni dunia itu, tapi garis-garis itu udah membuat aku menemukan diriku, tepatnya sebagian diriku ada dalam garis-garis itu. 
tapi, untuk bisa menjadi sesuatu yang bernilai, bukankah itu harus di tekuni? 
kamu tahu sendiri, aku kan hanya setengah-setengah menjalani itu, aku takut waktu yang aku berikan pada dunia baru ini akan menjadi satu hal yang sia-sia”. Kata rangga pada satu waktu.
                “oia, sekarang aku seperti terjebak dalam dunia kamu, dan memahami betul kenapa kamu bisa sampai dan hampir menjadi orang yang AnSos gitu, mungkin kamu pun awalnya tidak ingin seperti ini. Tapi setelah tau cerita kamu, bahwa kamu menemukan garis-garis itu karena tidak sengaja pun dan akhirnya kamu terjebak dan menemukan hidup kamu disitu, tapi kamu sudah menjalani itu bertahun-tahun, bahkan kamu sudah sedikitnya membuahkan sebuah hasil dan karya, tapi aku sama sekali baru, kamu lihat sendiri kan? hasil bangunan miniature yang aku buat? Gubuk reyot yang ambruk kalau mejanya digebrak..’ hhaa kata rangga.
                “Rangga, asal kamu mau belajar dan konsisten aja. kamu pasti bisa , kamu jangan menyerah! Dan aku adalah orang yang mendidik diri aku sendiri dengan sangat keras, jadi kalau ada orang yang gampang menyerah dan putus asa, aku akan sangat mudah berlari dan meninggalkannya, tidak ada toleransi bagiku, karena hidup pun mengajarkan aku untuk seperti itu” kata donna sambil menatap tajam rangga
                “hufph.. aku sih ingin belajar, tapi…” rangga tidak mau membuat banyak alasan dalam hidupnya maupun di hadapan donna.
                “pertanyaannya, kamu mau belajar atau ga?” desak donna “yah, aku mau..” kata rangga dengan sedikit ragu datang menjalar.
                “donna, hidup itu kalau secara filosofis dari seorang plato "segala sesuatu yang ada di alam ini hanyalah bayangan dari ide-ide yang abadi..." nah, kamu pernah ga mikirin itu? semua bangunan yang kita ciptakan seindah apapun bakal sirna, terus nilai apa yang ingin kamu kejar” Tanya rangga pada donna
                “GUE pengen menciptakan karya buat semua orang, karena pada saat semua orang menghargai hasil karya kita, harga nya pun pasti mahal” kata donna menggebu-gebu
“iya sih, totalitas, tapi tetap saja penghargaan itu pun akan lenyap dan tak bersisa bukan?”
“ya, saat semua orang bahagia, bukannya kita pun menjadi manusia yang bermanfaat, ya ga?” donna menjelaskan lagi.
“iya sih, tapi tetap saja aku kurang puas dengan jawaban itu” kata rangga
“ah, kamu! Berharap mimpi yang tinggi, tapi totalitas untuk belajar saja mengeluhnya minta ampun..” ledek donna
Rangga gelagapan dengan pernyataan itu, “hhmmhhm… ya mungkin” katanya
"terus target tertinggi kamu apa?" tanya rangga "selain yang tadi kamu bilang.." lanjutnya
"aku ingin menjadi seorang artsitek dan membuat bangunan-bangunanku di seluruh dunia, dan aku tidak bisa sendiri menjalani itu" kata donna
"waow bagus. bagus.. " kata rangga
"apanya yang bagus?"
"bagus, berarti donna udah mulai menyadari bahwa dia ga bisa hidup sendirian..." timpal dea yang sedari tadi mendengarkan percakapan sambil membuat desain bangunan dalam laptopnya.
"emang aku begitu?" donna merenggut
"cape deh, baru sadar?" kata dea
hhaa.. hhaa..
mereka bertiga tertawa dalam ruang kerja donna, hani tidak datang saat itu. dia sedang sibuk dengan tugas kelompok di kampusnya.
ruangan luas dengan berbagai macam alat-alat arsitektur dan cat-cat yang menciprat ke lantai menjadi satu moment tertentu yang tidak bisa dilupakan.
rangga, menatap donna dan dea, lalu matanya beredar menuju ruangan itu...
kosong tapi isi.


Malaikat tak bersayap,
Hatinya terpaut  dengan sang langit dan
kakinya terikat oleh sang bumi…
jiwanya bercahaya dan merindukan Sang Cahaya…
tapi matanya menatap bunga-bunga layu…
di atas bumi…
ingin segera menerangi
mendekatkannya dengan cahaya
tapi…

Dia tak bersayap


Tidak ada komentar:

Posting Komentar