Jumat, 28 November 2014

Malaikat tak bersayap (PART 2)


-Bias-

Kita hanya sebuah miniature kecil dari alam semesta,
Dan saat kita menatap jagat raya…
semua bias…

Saya Rangga, mahasiswa psikologi semester empat di sebuah Universitas negeri di kota Bandung. Belajar psikologi menurutku tidak semudah belajar arsitek, karena jiwa bukanlah sebuah bentuk yang tampak seperti halnya sebuah sudut dan bangun.

Walaupun seperti itu, aku masih belum dapat menguasai seni arsitek dari sahabatku Donna dan Dea, mereka adalah mahasiswi arsitek semester tujuh di universitas negeri di kota yang sama denganku.

Sudah enam bulan perkenalanku dengan mereka, mulanya aku kenal dengan Dea pada satu kegiatan komunitas yang diadakan antar universitas kami, dari sana, aku mulai akrab dengannya dan dia mengenalkan Donna, sahabatnya. Sebuah alasan kami bertemu adalah untuk nanti berpisah. Di satu titik takdir.

Dalam garis perjalanan kami, mimpi menghiasi setiap pertemuan kami, Donna lah yang sebenarnya memiliki mimpi itu. Sementara aku, masih pada perjalanan mencari makna dari mimpi itu. Tapi, darinya aku belajar tentang ambisi, sebuah lokomotif kehidupan, bara batu bara yang dibakar untuk menjalankan gerbong-gerbong kereta hidup kita.

Mimpi kami begitu besar, mencoba menjelajahi dunia dan meninggalkan jejak di atas tanahnya dengan ide-ide kami, membangun sebuah bangunan yang kami anggap akan menjadi sebuah keabadian, hingga setiap masa akan menyaksikannya dan mencari nama kami, walau raga sudah di liang lahat sekalipun.

Setelah rutinitas di kampus selesai aku langsung menuju studio tempat kami menuangkan ide-ide, tahap yang aku sedang pelajari sekarang adalah BELAJAR. Untunglah kata itu bukan kata yang asing dalam kamus hidupku. Menikmati setiap waktu yang berlalu dengan hal-hal yang baru, karena menurutku jiwa membutuhkan itu. hal-hal yang baru, jika kita hanya berputar pada tempat yang sama dengan masalah-masalah yang sama, JENUH itu akan datang masuk ke dalam celah jiwa kita, dan mengikatnya menjadi satu aliran listrik yang sejenak mematikan seluruh aliran darah, atau bahkan selamanya.

“Minggu depan aku off dulu ya, mau focus buat ujian semester genap” kataku pada Donna
“oke… kalau bisa jangan off banget, lumayan lama soalnya, dua minggu. Seminggu dua kali aja loe kesini ya..” katanya. Matanya tak beranjak dari sketsa di layar monitornya.
“waduh, asli, saya ga bisa…”

“focus itu bisa banyak bro! tergantung kamu mau maksimal atau ga! kaya loe nyetir motor aja, bukan Cuma jalan aspal aja yang dilihatnya kan? Ya kan? Nah, itu juga bisa dikatakan fokus”

“ah, Donna kan ga mejalani rutinitas kaya aku, kamu Cuma focus sama tugas akhir kamu dan kamu pun hanya focus membangun mimpi kamu! Coba kamu fikir, kapan kamu mau memahami dunia aku? Terjebak dalam masalah orang lain, masuk ke dalam jiwa orang lain, mencari teori-teori yang sesuai untuk menjawabnya dan melihat banyak mata yang ketakutan, putus asa bahkan menatap miris manusia layaknya binatang, pernah ga kamu menengok pinggiran jalan raya yang terkadang berlalu lalang manusia tak berbusana, manusia yang mengais makanan dari tempat sampah, dan manusia-manusia itu kita lewati begitu saja seperti ANJING! Apa itu mimpi? Kita hanya terjebak dalam mimpi! Menurutku, kita tidak berbeda jauh dengan mereka yang kadang tidak dapat lagi membedakan mana nyata dan ilusi”.

“loe kenapa? Sakit? Yaudah kalau loe ga sanggup, kagak usah nyolot gitu” kata dea pada rangga. Donna hanya diam saja, membeku di hadapan Laptopnya, tangannya terus bergerak, terdengar bunyi klik.klik dari mouse yang di tekan.

Rangga menatap donna, ada perasaan bersalah dalam hatinya. “saya cuma lagi capek aj..” kata rangga.

Ruangan itu tetap sunyi, Dea menatap rangga, “yaudah pulang aja loe, ribet banget sih” kata Dea

“yaudah, gue pulang dulu…” rangga beranjak meninggalkan ruangan itu. dia bereskan semua barangnya ke dalam tas gendong TEUGADUDEUI nya, “maafin saya ya…Donna” 

Lantas dia pergi meninggalkan donna dan dea dalam kondisi tak menentu, rasa lelah itu datang lagi bisik hati rangga.

***
Sudah tiga minggu, rangga menatap kalender yang terpaku di dinding kamarnya.
Wajah donna terus membayangi dia, maaf aku tidak bisa melakukan yang terbaik untuk membangun sesuatu, apapun itu

Entahlah, aku kembali pada titik menghancurkan mimpi orang lain,
Dan wajah Donna yang keras dan kuat itu selalu hadir dalam bentuk yang lain dalam benaknya, sesuatu yang rapuh…

Ayolah rangga! Tidak semua orang seperti apa yang kamu fikirkan, oke! rangga bukanlah malaikat, tapi kamu bisa berupaya memberikan kebahagian untuk setiap orang dan jangan kau ukur kebahagiaan itu dari teraihnya semua mimpi, BINTANG tak selalu indah dalam dekat, BINTANG akan tampak cantik jika tetap berada di atas, biarkan dia disana dan biarkan kita tetap melangkah… sebuah proses adalah mimpi yang menjadi nyata, tak peduli bagaimana hasilnya.

Rangga menatap langit-langit kamarnya, menatap lampu yang menyala. Lalu, selintas dia berfikir sebuah ide. Oke! Besok aku akan kesana membawa benda itu…

***
Pada pagi hari rangga segera berangkat ke sebuah tempat untuk membeli sebuah barang…

Tok.tok… “assalamualaikum dua sister cantik” teriak rangga dari luar rumah Donna.
Kreeekkkkk suara rumah Donna yang terbuat dari kayu terdengar bergesekan dengan lantai, donna yang membukakan pintu. Sekilas wajahnya agak terkejut menatap rangga… rangga hanya tersenyum lebar kepada donna.

“ah, dasar muka modus…” kata Donna dia pun membalas senyum rangga “jangan masuk!” teriaknya bercanda, “yakin?” kata rangga “yakin..” sambil dia membuka pintu dengan lebar “jangan masuk ke luar! Masuk ke dalam aja yuk!” hha.. mereka berdua tertawa

“bawa apaan loe?” Tanya Donna pada rangga “ada deh, kamu jangan protes ya!”
“terserahlah, asal jangan bawa ANJING lagi , oke!” ledek Donna
“hahaha… ga lah!” katanya menaikkan alis dan berlagak serius sambil memegang erat kotak besar seukuran dus indomie goreng di tangannya. “mana Dea?” tanyanya pada donna
“belum datang…” dari pagar halaman tampak dea masuk dengan motor scopy nya, gayanya yang necis dan berkacamata besar membuat rangga tak berkedip, saking besarnya kacamata yang dipakai Dea, hingga menutup hidungnya sendiri.

“woii… jiah ada si cinta datang” teriak dea dari tempat dia memarkirkan motor
“yoa, kenapa neng dea kangen sama rangga? Tapi sayang diantara kita tidak ada cinta..” kata rangga, “amit. Amit deh.. jangan sampe deh kayak gitu” kata dea.
Mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah dan langsung menuju studio mereka.

“tumben datang jam segini, ga ke kampus? oh udah beres ya… bawa apaan loe?” Tanya dea sambil menatap dus yang di bawa rangga.
“ada deh.. kalian berdua mau bantu aku kan?” tanya rangga
“sebelum kita mulai kerja lagi, bantu aku masang ini di semua ruangan studio kita, OK? FIKS!” kata rangga sepihak tanpa menunggu jawaban dari mereka berdua.

“ok, lah… rehat dulu nge-desainnya” kata Donna
Rangga pun menaruh dus di atas meja, lalu mulai membongkar dan mengeluarkan isinya “akhh rangga, kamu bawa appan ini? Parah loe! Mau merusak desain ruangan aku dengan benda kayak gitu? Ini sih mainan anak SD” teriak Donna.

“ayolah donna, pli.plis.plis… gapapa kan?” pinta rangga
Donna menatap rangga “terserah lah…  tapi jangan disitu. Disitu. Disitu” kata donna sambil menunjuk beberapa sudut… “oke donna cantik, ups hitam, eh salah hitam manis… hha” kata rangga bersemangat “aku mau pasang tepat disitu” katanya sambil menunjuk langit-langit.
“boleh lah…” kata donna menyetujui

Mereka bertiga dengan susah payah, naik-naik tangga untuk menempelkan barang yang rangga bawa di atas langit-langit…

Tiga jam pun berlalu, akhirnya mereka selesai memasangkan benda-benda itu…
Setelah tiga minggu tak bertemu, mereka ngobrol kesana kemari bercerita semua aktivitasnya, pembicaraan pun terkadang di bumbui dengan bulian yang membuat mereka tertawa bersama.

Setelah mereka shalat maghrib berjamaah, mereka bertiga pergi keluar mengisi perut mereka, lalu balik lagi ke rumah.

Di ruangan studio sketsa,
“eh, kemari kalian,” ajak rangga “nanti tepat jam 12 aku mau memberi tahu sesuatu” kata rangga
“apaan sih loe…”
“ssttt.. lima menit lagi….” Rangga membiarkan suasana menjadi hening dan seolah terhipnotis semua menatap jam dinding yang tergantung di studio.
“30 detik lagi….” Kata rangga,
“5.4.3.2.1.0….” rangga mulai berhitung
ctreeekk saklar lampu di tekan, seketika ruangan gelap, semua sudut menjadi kelam, tapi mata mereka terpaku pada langit-langit ruangan. Dari sana terpancar cahaya dari benda-benda langit yang tadi mereka pasang. Sebuah gambar galaksi bima sakti yang menyala lengkap dengan bintang-bintang dan seluruh planet-planetnya.

Donna dan Dea terpesona pada langit-langit studio.…”seperti bergerak” bisik dea.      

Akhirnya mereka bertiga pun terduduk di atas lantai dan tetap menatap langit-langit,
“kecil banget ya kita” kata dea
“iyalah, yang kita lihat ini adalah galaksi bima sakti… disana ada ribuan planet-planet yang mengelilingi bintang, ini hanya baru satu galaksi” kata donna
“tahu ga kenapa aku melakukan hal ini?” Tanya rangga
“kenapa?” tanya donna
“lihat disana, titik itu” tunjuk rangga pada sebuah bintang yang bercahaya di kejauhan “aku ingin kita semua menaruh mimpi kita di atas sana, kamu tahu kenapa? Agar kita terus menatap ke atas dengan optimis dan agar kita selalu melangkah ke depan, dan terus bergerak…

Lalu rangga menyorotkan sebuah lampu senter ke wajahnya sendiri, lalu kedua wanita itu menatapnya…
“dan pada saat kalian terpukau dengan bintang yang bercahaya terang di atas sana, aku harap kalian jangan pernah lupa pada sinar lampu senter ini, walaupun cahayanya tidaklah seterang dan secantik bintang-bintang itu, tapi senter ini adalah cahaya pertama yang siap untuk membantu kalian untuk berjalan melangkah menuju bintang-bintang itu…” kata rangga
Donna dan Dea tersenyum “tenang kawan, sebuah lingkaran yang akan kita jejaki bersama nanti, saat mengelilingi dunia ini, akan tetap aku ingat bahwa dia terbuat dari titik-titik langkah yang kita jalani bersama-sama..” kata Donna

“tapi aku ga mau titik-titik itu dibuat dari tinta warna hitam, cukuplah kamu yang hitam donna, jangan lingkarannya..” ledek rangga
“hhaa.. parah lu, cuka banget” kata donna
“dan kamu De, mudah-mudahan setelah lingkaran itu selesai, hal yang ingin aku tambahkan adalah lingkaran hidungmu, biar tambah mancung aja hidung pesekmu..” ledek rangga
“no.no..” kata Dea “biarkan hidung ini tetap pada tempatnya, karena hidung ini menjadi saksi kenangan untuk kita bertiga” kata dea sok puitis.

Hhaa.. mereka pun tertawa dalam ruangan gelap, sambil terus menatap galaksi yang ada di atas mereka…

Dalam luasnya semesta ini,
Kita hanya miniature terkecil…
Dan menjadi bias,

Tapi saat kita bersama-sama membangun cinta, persahabatan, dan sebuah mimpi…
Maka dari ufuk yang jauh disana.
Bintang itu menjadi sangat terang…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar